Diberdayakan oleh Blogger.
Adsense Indonesia

Wahai Cinta! Maafkan kami, ya! Selama ini, hampir tak pernah kami balas panggilanmu. Padahal, giat sekali kausapa kami lewat Surat Cinta Terindah dari-Nya. Amboi! Dalam format hubb, kau hadir di 83 tempat. Di 27 lokasi, kau muncul selaku mawaddah. Sebagai rahmah, kau berbicara 321 kali.[i] Subhaanallaah… Bagaimana mungkin kami jadi sahabat karibmu bila kehadiranmu yang serajin itu kami anggap angin lalu?
Alif Lâm Mîm.
inilah kitab yang tiada keraguan di dalamnya;
petunjuk bagi mereka … yang menyumbang
dari rizqi yang Kami karuniakan.

(al-Baqarah [2]: 1-3)
Sobat, siapa bilang rezeki yang bisa kita sumbangkan menurut Surat-Nya ini hanya berupa barang konkret, seperti makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya? Rezeki Allah pastilah mencakup ‘benda’ gaib (tak tertangkap pancaindera), seperti kemampuan untuk memahami orang, rasa cinta, dan seterusnya.[ii] Kata siapa Al-Qur’an tidak meminta kita untuk mendermakan karunia batiniah? Senyum aja sedekah,[iii] apalagi cinta! Iya ‘kan? Makanya, yuk kita bersedekah melalui cinta!
Belon tau langkah2nya? Tenaaang. “Orang-orang yang benar-benar berjuang di dalam [mencari Jalan] Kami niscaya Kami bimbing ke Jalan-Jalan Kami. Allah sungguh bersama orang-orang yang berbuat baik.” (al-’Ankabut [29]: 69)
Dalam konteks ‘jihad’ inilah kata hubb sering digunakan oleh Al-Qur’an.[iv] Keberatan? Aku ngerti. Perjuangan di Jalan Asmara Islami tidaklah semudah mengedipkan mata. Boleh jadi, musuh terganas ialah hawa-nafsu kita sendiri: nafsu untuk memiliki, menguasai, ‘mencicipi’ kekasih…. Namun, tak usah kita berkecil hati. Sang Pemurah telah membekali kita sebuah ‘senjata’ ampuh: Al-Qur’an. (Lihat al-Furqan [25]: 52. Inilah ayat paling awal yang mengandung kata ‘jihad’.[v])
Berhadapan dengan Kitab Allah, segala dorongan hawa nafsu (dan juga rayuan syetan) bertekuk lutut. Mengapa? Karena Al-Qur’an adalah al-furqan, pembeda antara yang benar dan yang salah. (Lihat al-Furqan [25]: 1.) Dengan Al-Furqan, cinta yang islami dapat dibedakan dari yang jahiliyah.
Belum paham? Oke… Mari kita peratiin, umpamanya, dari 80-an kali penampakan ‘cinta’ (hubb) di dalam Al-Qur’an, 60-nya menggunakan format fi’il (kata kerja). Hampir semuanya berjenis fi’il mudhari (menunjuk waktu sekarang dan akan datang, bentuknya bisa berubah-ubah sesuai struktur kalimat). Hanya dua kali, fi’il madhi (menunjuk waktu lampau, bentuknya tidak banyak berubah dalam berbagai struktur kalimat) dipakai.[vi]
Dari situ kupahami, mencintai (‘cinta’ dalam format kata kerja) lebih penting ketimbang cinta itu sendiri (‘cinta’ dalam bentuk kata benda). Cinta sejati adalah proses dinamis yang berorientasi ‘saat ini dan masa depan’, menjadi pencinta, memberi kasih-sayang. Asmara Islami tidak terpaku pada ‘masa lalu’, tidak begitu bernafsu untuk memiliki kekasih (benda yang dicintai), tidak mengemis-ngemis cinta.
Kata ‘mencintai’ (yuhibbu) selalu berstatus i’rab rafa’ dengan harakat dhammah. Menurut Hassan Hanafi, i’rab ini melambangkan simbol fa’iliyyah,[vii] sifat pelaku, pengendali, penentu. Dhammah mengisyaratkan sesuatu yang kuat dan menguasai keadaan.[viii]
Makanya, nggak bakalan ada segelintir pun orang yang mampu membuat hatimu kucar-kacir, Dik. Biar cakepnya ngungguli Yusuf a.s. kèk, kerènnya ngalahin selebritis kèk…, enggak ‘ngaruh, euy! Kendati paranormal sedunia berkoalisi meramu jampi2 pelet, hatimu takkan tertaklukkan. Dalam kadar2 yg ditetapin Allah, kamu sendirilah yang nentuin kapan, bagaimana, dan pada siapa kau naruh hati.
———————
[i] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 31, 67, 80.
[ii] Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, Juz I s/d XV, terj. Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 17.
[iii] Lihat hadits riwayat at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, kitab “al-Birr wa ash-shilah”, 3/228.
[iv] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 35-36.
[v] M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Jihad” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 7/II/1990, hlm. 60.
[vi] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 33.
[vii] Hassan Hanafi, Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr ad-Dini (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989), hlm. 15.
[viii] Lihat Mahmud bin asy-Syarif, Nilai Cinta dalam Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 50.

0 komentar: