Diberdayakan oleh Blogger.
Adsense Indonesia

Hijab

 

Hijab atau ħijāb (bahasa Arab: حجاب ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti penghalang.
Pada beberapa negara berbahasa Arab serta negara-negara Barat, kata “hijab” lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh wanita muslim (lihat jilbab). Namun dalam keilmuan Islam, hijab lebih tepat merujuk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama.
  1. Dalam Al Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59 disebutkan : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
  2. Kemudian dalam surat An-Nur ayat 31 : …Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…

Hadits

Kriteria hijab yang benar

Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albany kriteria jilbab yang benar hendaklah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak , jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.

Definisi Haid

Haid adalah darah yang keluar dari rahim dinding seorang wanita apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu , paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari.
Sedangkan paling cepat masa sucinya adalah tiga belas hari atau lima belas hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan tetapi, yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.
Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Allah darah haid itu berubah menjadi makanan bagi bayi yang tengah berada dalam kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamiltidak mengalami masa haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Allah merubahnya menjadi air susu yang merupakan makanan bagi bayi yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan menyusui, maka darah yang ada tidak berubah serta tetap berada pada tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih atau kurang dari hari-hari tersebut).
Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: Wanita yang baru menjalani masa haid, wanita yang terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami keluarnya darah istihadhah.
2. Wanita yang Baru Menjalani Masa Haid
Yaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang masa suci. Apabila masa haid tersebut telah selesai dalam satu hari atau paling lama lima belas hari, maka ia berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat. Apabila setelah lima belas hari darah tersebut masih tetap mengalir keluar, maka ia dianggap mengalami masa istihadhah.
Apabila darah haid itu berhenti disekitar lima belas hari, lalu ia mengalir lagi selama satu atau dua hari, kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup baginya mandi, lalu ia mengerjakan shalat. Selanjutnya, hendaklah ia meninggalkan shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu mengalir. Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan shalat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:
Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat” (Muttaqun Alaih)
3. Wanita yang Biasa Menjalani Masa Haid
Yaitu, wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap bulannya untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut ia harus meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan. Apabila ia melihat darah berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna keruhsetelah hari-hari haidnya tersebut, maka ia tidak perlu menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini sesuai dengan ucapan Ummu Athiyah:
Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa bersuci.” (HR. Al-Bukhari)
Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kuningan dan yang berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid, maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum diharuskan untuk mandi, melaksanakan shalat dan puasa.
Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang menjalani haid melebihi dari hari yang biasa dijalani setiap bulannya, maka hendaklah ia bersuci selama tiga hari dan setelah itu laksanakan mandi serta kerjakan shalat, selama keluarnya darah tersebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena apabila melebihi lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang mengalami masa istihadhah serta tidak perlu bersuci, akan tetapi cukup dengan melaksanakan mandi dan mengerjakan shalat.
Sebagian dari ulama lain berpendapat, bahwa keluarnya darah yang melebihi kebiasaan masa haid itu tidak harus meninggalkan shalat karenanya, kecuali jika terjadi berulang-ulang, dua atau tiga kali. Sehingga pada saat itu, masa haidnya berubah menjadi masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang jelas dan lebih kuat (rajih).
Definisi Haid (Sumber lain)
Haid menurut bahasa berarti mengalir sedangkan pengertian secara syar’i adalah darah yang keluar dari bagian dalam rahim wanita pada waktu-waktu tertentu, bukan karena sakit atau terluka, tetapi ia adalah sesuatu yang telah diciptakan Allah bagi wanita. Allah menciptakannya di dalam rahim untuk memberikan makan janin saat hamil, lalu menghasilkan susu setelah kelahirannya. Jika wanita itu tidak hamil dan menyusui sementara darah ini ada dan tidak digunakan, maka keluarlah ia pada waktu-waktu tertentu yang dikenal dengan rutinitas atau datang bulan.
Umur Wanita Haid
Umur wanita haid secara umum minimal berusia sembilan tahun sampai lima puluh tahun. Allah berfirman:Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Thalaaq : 4).
Jadi perempuan-perempuan yang berhenti haid adalah mereka yang sudah berusia lima puluh tahun dan perempuan-perempuan yang belum haid adalah mereka yang masih kecil belum berusia sembilan tahun.
Hukum-Hukum Haid
1.Diharamkan bersetubuh dalam kondisi haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adakah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. (QS. Al-Baqarah : 222).
Keharaman ini berlangsung sampai darah haid berhenti darinya, lalu ia mandi. Allah berfirman: dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Bagi suami wanita yang sedang haid dibolehkan untuk bersenang-senang dengannya tanpa bersetubuh, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :Perbuatlah apa saja kecuali nikah (bersetubuh). (HR. Muslim).
2.Wanita haid harus meningalkan shaum dan sholat di masa haidnya, dan diharamkan melaksanakan keduanya, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:Bukankah jika seorang wanita haidh tidak sholat dan shaum. (HR. Muslim).
Jika wanita haid telah suci, maka hendaklah ia membayar kewajiban shaum yang telah ditinggalkan selama haid, dan tidak mengganti kewajiban sholat. Berdasarkan perkataan Aisyah Radliyallah ‘anha: Adalah kami haidh di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan untuk mengganti shaum dan tidak mengganti sholat. (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbedaan sholat dan shaum adalah bahwa sholat dikerjakan berulang kali, maka tidak ada kewajiban menggantinya, karena tidak ada kesempatan untuk menggantikannya, yang mana hal itu berbeda dengan shaum. Wallahu A’lam.
3.Diharamkan wanita haid memegang mushaf Al-Qur’an tanpa alat perantara. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqiah : 79).
Dan ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengirim surat kepada Amru bin Hazm tertulis : Tidaklah menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci. (HE. An-Nasa’i).
Hadits ini menyerupai hadits mutawatir, maka hendaklah manusia menerimanya. Syaikhul Ibnu Taimiyah berkomentar, Menurut pendapat imam madzhab yang empat bahwa tidak boleh menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci.
Sedangkan hukum wanita haid membaca Al-Qur’an dengan tidak memegang mushhaf ada perbedaan pendapat di antara Ahlul ‘Ilmi, namun untuk kehati-hatian maka seorang wanita haid sebaiknya tidak membaca Al-Qur’an kecuali dalam kondisi darurat, seperti karena khawatir melupakannya. Wallahu A’lam.
4.Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Baitullah didasarkan atas sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Aisyah Radliyallahu ‘anha ketika ia haid : Kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan orang berhaji kecuali Thawaf di Baitullah sampai engkau suci. (HR. Bukhari dan Muslim).
5.Diharamkan bagi wanita haid berdiam diri di dalam masjid, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub. (HR. Abu Dawud).
Dan sabdanya juga: Sesungguhnya masjid tidak halal bagi wanita haid dan orang junub. (HR. Ibnu Majah)
Tetapi diperbolehkan bagi wanita haid sekedar lewat (berjalan) di masjid tanpa berdiam diri di dalamnya. Didasarkan pada hadits Aisyah Radliyallahu ‘anha. Ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Ambilkan khumrah (sejenis tikar) itu dari masjid ! Aku katakan, Aku sedang haid. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu. (Diriwayatkan oleh Al-Jamaah kecuali Imam Al-Bukhari, lihat Al-Muntaqa 1/130).
Tidak mengapa bagi wanita haid membaca dzikir-dzikir yang disyari’atkan berupa tahlil, takbir, tasbih dan doa-doa, begitu juga boleh membaca wirid-wirid yang disyari’atkan ketika masuk pagi dan sore hari ketika mau tidur dan bangun tidur. Dan tiak mengapa membaca-baca buku-buku kelilmuan seperti tafsir, hadits dan fiqh.
Faedah dalam Hukum Syafrah dan Kadarah
Syafrah adalah cairan kotor seperti nanah berwarna kuning, sedangkan kadarah adalah cairan seperti kotor yang keruh. Maka apabila syafrah dan kadarah keluar dari seorang wanita pada waktu ia biasa haid, berarti ia sedang haid, akan tetapi jika hal itu keluar selain waktu haid berarti tidak ada masalah, wanita itu suci karena ada perkataan Ummu ‘Athiyah Radliyallahu ‘anha, Kami tidak menghitung kadarah dan syafrah setelah suci sedikitpun. (HR Abu Dawud).
Imam Bukhari meriwayatkan tanpa lafadz setelah suci. Hadits ini adalah marfu’ karena mengandung ketetapan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dapat dipahami bahwa kadarah dan syafrah sebelum suci adalah haid (yaitu berhukum seperti haid).
Faedah Lainnya
Pertanyaan :
Ciri apa yang bisa diketahui, bahwa seorang wanita telah berhenti haid ?
Jawaban :
Hal itu biasa diketahui dengan berhentinya darah mengalir dan dapat diketahui dengan salah satu dari dua tanda sebagai berikut :
1.Keluarnya cairan putih yang mengikuti darah haid seperti air kapur, terkadang air tersebut tidak berwarna putih dan terkadang ia keluar dengan warna yang berbeda, sesuai dengan kondisi wanita tersebut.
2.Kering, hal ini bisa diketahui dengan maemasukkan secarik kain atau kapas ke dalam vagina wanita dan setelah dikeluarkan kain atau kapas itu, ia tetap dalam keadaan kering tanpa darah kadarah atau syafrah.
Sesuatu yang Harus Dilakukan Wanita Setelah Haid
Bagi wanita yang telah usai dari haidnya, hendaklah ia mandi dengan menyiramkan air suci ke seluruh tubuhnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: Jika datang masa haidmu maka tinggalkanlah sholat dan jika berakhir maka mandilah dan sholatlah. (HR. Al-Bukhari).
Caranya: Hendaklah ia berniat menghilangkan hadast atau besuci untuk sholat atau lainnya, kemudian membaca basmallah lalu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya, kemudian membasahi pangkal rambut kepalanya dan tidak perlu melepasnya jika rambutnya diikat tetapi cukup membasahi dengan air, dan akan lebih baik jika air itu dicampur dengan daun bidara atau alat pembersih lainnya. Setelah mandi disunnahkan memakai parfum atau wangi-wangian lain dengan memakai kapas untuk diletakkan (diusapkan) pada farji (vagina)-nya. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Asma’
Peringatan Penting
Jika wanita haid atau nifas telah suci sebelum tenggelamnya matahari, maka pada hari itu hendaklah ia mengerjakan sholat dhuhur dan ashar. Dan jika ia suci sebelum terbit fajar, maka pada malam itu hendaklah ia mengerjakan sholat maghrib dan isya’ karena waktu sholat yang kedua adalah termasuk waktu sholat yang pertama di saat seseorang berada pada kondisi udzur.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memberi komentar dalam Majmu’ Fatawa 22/434, Dengan demikian menurut jumhur ulama seperti Malik, As-Syafi’i dan Ahmad, apabila wanita haid sebelum tenggelamnya matahari maka hendaklah ia sholat dhuhur dan ashar dengan cara dijama’. Dan jika ia suci di penghujung malam, maka hendaklah ia sholat maghrib dan isya dengan dijama’. Hal ini seperti dinukil dari Abdur Rahman bin Auf, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, karena waktu sholat-sholat itu mengikuti sholat yang lain dalam kondisi udzur. Dan jika ia suci di akhir siang sementara waktu dhuhur masih ada maka hendaklah ia sholat dhuhur sebelum datang sholat ashar, sedangkan ia suci di waktu malam sementara waktu maghrib masih ada, maka hendaklah ia sholat maghrib sebelum tiba waktu isya’.
Adapun jika telah masuk waktu sholat, kemudian seorang wanita kedatangan haid atau nifas sedangkan ia belum sholat maka pendapat yang paling kuat adalah tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti (mengqadla’) sholat itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa 23/335 berpendapat dalam masalah ini, Dan alasan yang paling jelas adalah madzhab Abu Hanifah dan Malik, Bahwasannya bagi wanita itu tidak ada kewajiban untuk mengqadla’ sholat, karena mengqadla’ sholat hanya diwajibkan bagi masalah baru, sedangkan urusan ini tidak diwajibkan untuk mengqadla’ karena keterlambatan wanita itu melakukan sholat bukan karena ia sengaja. Adapun jika ketiduran atau terlupa tidak sengaja, maka sholat yang ia lakukan bukanlah qadla’, tetapi yang ia lakukan itu adalah waktu sholat yang menjadi haknya ketika ia bangun dan ingat.
[Dikutip dari Kitab Tanbiihat 'ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu'minat, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]
Rofiq Adam ,http://www.perpustakaan-islam.com.
Yaitu, wanita yang mengeluarkan darah secara terus-menerus melebihi kebiasaan masa berlangsungnya haid.
Wanita yang mengalami istihadhah harus berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat. Boleh mengerjakan shalat, meskipun darah masih tetap mengalir. Disamping itu, juga tidak dianjurkan untuk berhubungan badan, kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dalil yang menjadi landasan mengenai masalah ini adalah hadits dari Ummu Salamah:
Bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah mengenai seorang wanita yang selalu mengeluarkan darah. Maka Rasulullah bersabda: Hitunglah berdasarkan bilangan malam dan hari dari masa haid pada setiap bulan berlangsungnya, sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya itu. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa dijalaninya setiap bulan. Apabila ternyata melewati dari batas yang berlaku. Maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat (pembalut) dan mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’I dengan isnad Hasan)
Hadits di atas ditujukan bagi wanita yang mengalami masa istiha-dhah yang mempunyai kebiasaan masa haid teratur. Di samping ada juga hadits dari Fathimah Binti Abi Jahsyin, dimana ia pernah mengalami masa istihadhah dan Rasulullah bersabda kepadanya:
Jika darah haid, maka ia berwarna hitam seperti diketahui banyak wanita. Jika yang keluar adalah seperti itu, maka tinggalkanlah sholat. Jika yang keluar adalah darah lain (warnanya, yakni darah istihadhah), maka berwudhulah setelah mandi dan laksanakan sholat. Karena darah tersebut adalah penyakit.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Hadits yang terakhir ini ditujukan bagi wanita yang tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid yang teratur atau bagi wanita yang lupa akan masa haidnya yang biasa datang menghampirinya pada setiap bulan, dimana darahnya dapat ia bedakan.
5. Amalan yang Dilarang untuk Dikerjakan bagi Wanita yang Menjalani Masa Haid
a. Shalat
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Rasulullah:
“Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Aisyah ia pernah bercerita:
“Kami pernah menjalani masa haid pada zaman Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.”
b. Puasa
Wanita muslimah yang sedang menjalani masa haid tidak diperkenankan untuk menjalankan ibadah puasa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah:
“Bukankah salah seorang diantara mereka (kaum wanita) apabila menjalani masa haid tidak mengerjakan shalat dan tidak pula berpuasa? Para sahabat wanita menjawab: Benar.” (HR. Al-Bukhari)
Namun demikian, wanita yang menjalani masa haid berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkan setelah masa haidnya selesai. Ibnu Mundzir pernah meriwayatkan bahwa wanita yang tengah menjalani masa haid berkewajiban mengqadha puasa.
c. Membaca Al-Quran
Bagi wanita yang menjalani masa haid diperbolehkan membaca Al-Quran, akan tetapi tidak boleh menyentuh mushafnya. Disamping itu ada pula hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Ibnu umar, yang berstatus sebagai hadits marfu’:
“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Quran.” (HR. At-Tirmidzi)
Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Ismail bin Iyyas. Hadits ini telah disebutkan oleh Al-Aqili di dalam kitabnya yang berjudul Adh-Dhu’afa Al-Kabir. Ia berkata: Telah diberitahukan kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad, ia mengatakan: Aku pernah mengemukakan sebuah hadits kepada ayahku, bahwa kami diberitahu oleh Al-Fadhal bin Ziyad Ath-Thasti, ia mengatakan: Kami telah diberitahu oleh Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi, dimana beliau bersabda:
“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Quran.”
Lalu ayahku berkata: “Hadits ini tidak dapat diterima, karena Ismail bin Iyyas merupakan perawi yang ditolak.”

d. Menyentuh Al-Quran

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid menyentuh Al-Quran. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Tidak menyentuhnya (Al-Quran), kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waqiah: 79)
Juga sabda Rasulullah:
“Janganlah kamu menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Al-Atsram)
e. Berdiam diri dalam masjid
Wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam diri di dalam masjid, dan diperbolehkan jika hanya sekedar berlalu saja.

f. Thawaf

Wanita muslimah juga diharamkan melakukan thawaf jika sedang menjalani masa haid, sebagaimana sabda Nabi kepada Aisyah:
“Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kamu tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci.” (Muttafaqun Alaih)
g. Berhubungan badan
Seorang istri Muslimah yang sedang haid tidak diperkenankan bersetubuh selama hari-hari menjalani masa haidnya, sebagaimana firman Allah:
“Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari mereka pada waktu haid dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka benar-benar suci.” (Al-Baqarah: 222)
h. Thalak
Menthalak istri yang sedang haid adalah haram. Karena, pelaksanaan thalak semacam ini disebut sebagai thalak bid’ah.
Ditulis oleh : Tri Rahmawati
Sumber : Fiqih Wanita, Karangan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah

Hukum Aborsi






Wahai Wanita muslimah, sungguh engkau yang diamanati secara syar’i atas kandungan yang telah Allah ciptakan dalam rahimmu, maka janganlah kamu menyembunyikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (QS. Al-Baqarah : 228).   Dan janganlah engkau berusaha menggugurkan dan berlepas diri dari kandungan yang ada dalam rahim itu dengan cara apapun, karena Allah telah memberikan keringanan atasmu dengan tidak mengerjakan shaum di Bulan Ramadhan, jika shaum itu menyusahkanmu saat hamil dan membahayakan kandunganmu.
Sesungguhnya praktek aborsi yang tersebar luas di zaman ini adalah tindak perbuatan yang diharamkan. Dan jika memang bayi yang ada dalam kandungan itu telah ditiupkan ruh, kemudian mati akibat aborsi, maka hal itu termasuk pembunuhan jiwa tanpa alasan yang benar yang diharamkan oleh Allah, selanjutnya karena perbuatan itu ia akan menerima hukum – hukum jinayat dengan kewajiban membayar diyat (denda) secara detail sesuai ukuran kejahatannya.
Menurut sebagian para Imam, wajib membayar kaffarah (tebusan), yaitu dengan memerdekakan seorang budak yang beriman dan jika tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia shaum 2 bulan berturut – turut. Sebagian ulama menamakan perbuatan aborsi ini dengan Al-Mau’udah Ash-Sughraa (pembunuhan kecil).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya 11/151, Adapun usaha untuk menggugurkan kandungan adalah tidak boleh selama belum jelas bayi dalam kandungan itu mati, akan tetapi jika bayi tersebut jelas mati maka boleh melakukan pengguguran.
Majlis Kibarul Ulama (MUI-nya Kerajaan Saudi Arabia) no. 140 tanggal 20 Jumadil Akhir 1407 telah menetapkan sebagai berikut:
1.Tidak boleh melakukan aborsi dengan jalan apapun kecuali dengan cara yang baik yang dibenarkan oleh syar’i, itupun dalam batas yang sangat sempit.
2.Jika kandungan itu masih dalam putaran pertama (selama 40 hari) lalu ia melakukan pengguguran pada masa ini karena khawatir mengalami kesulitan dalam mendidik anak – anak atau khawatir tidak bisa menanggung beban hidup dan pendidikan mereka atau dengan alasan mencukupkan dengan beberapa anak saja, maka semua itu tidak dibenaran oleh syariat.
3.Tidak boleh melakukan aborsi, jika kandungan telah membentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudghah (segumpal daging) sampai ada keputusan dari team dokter yang tsiqah (terpercaya) bahwa melanjutkan kehamilan akan membahayakan keselamatan ibunya, maka melakukan pengguguran dibolehkan, setelah segala macam usaha untuk menghindari bahaya bagi sang Ibu dilakukan (dan tidak ada jalan yang harus dilakukan selain aborsi itu).
4.Setelah putaran yang ketiga yaitu setelah usia kandungan genap 40 hari, maka tidak halal melakukan pengguguran sehingga ada pernyataan dari team dokter spesialis yang terpercaya bahwa jika janin itu dibiarkan dalam perut ibu akan menyebabkan kematiannya. Hal ini dibolehkan setelah segala macam usaha untuk menjaga kehidupan janin dilakukan. Ini hanya rukhsah (keringanan/kebolehan) yang bersyarat karena menghadapi dua bahaya, sehingga harus mengambil jalan yang lebih maslahat.
Majlis Kibarul Ulama ketika menetapkan keputusan ini mewasiatkan untuk bertaqwa kepada Allah dan memilih prinsip yang kuat dalam hal ini. Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, para keluarga dan shahabatnya Radliyallahu ‘anhum.
Disebutkan dalam Risalah Fiddima’ith-Thabi’iyah lin nisa’i oleh Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Sesungguhnya jika pengguguran kandungan itu untuk melenyapkan keberadaannya, sementara ruh telah ditiupkan pada bayi maka hal itu haram tanpa keraguan, karena telah membunuh jiwa tanpa alasan yang benar. Dan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ .
Imam Ibnu Jauzi menyebutkan dalam kitab Ahkaamun Nisa’ halaman 108-109 : Biasanya yang diinginkan seseorang dalam menikah adalah untuk mendapatkan anak, tetapi tidak setiap air itu menjadi seorang anak, maka apabila air itu terbentuk, berarti tercapailah maksud pernikahan. Maka sengaja melakukan aborsi adalah menyelisihi maksud dari hikmah nikah. Adapun pengguguran yang dilakukan di awal – awal mengandung saja sebelum ruh ditiupkan adalah termasuk dosa besar, hanya saja hal itu lebih kecil dosanya dibandingkan menggugurkan bayi yang telah ditiupkan ruh. Maka kesengajaan menggugurkan bayi yang telah ditiupkan ruh itu berarti sama dengan membunuh seorang mukmin. Allah berfirman :
Apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup – hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh ? (QS. At-Takwir : 8-9).
Dengan demikian, bertaqwalah engkau kepada Allah wahai muslimah., dan janganlah engkau melakukan kejahatan ini untuk tujuan apapun, jangan pula terpengaruh oleh ajakan – ajakan yang menyesatkan serta jangan mengekor kepada kebatilan yang tidak bersandar pada akal sehat dan dienul Islam.

0 komentar: